Setahun berlalu setelah seorang legenda mengumumkan akhir dari perjalanan bulutangkisnya selama 25 tahun. Di hari bersejarah itu tanggal 13 Juni 2019, di hadapan publik internasional, Lee Chong Wei menangis saat memberikan pidato perihal pensiun dirinya. Sambil menahan emosi, tubuhnya bergetar saat mengucapkan terima kasih kepada para pelatih dan timnya.

Lee Chong Wei membagikan kenangan tentang bagaimana perasaannya menjelang hari pensiun di akun sosial medianya.

“Tak akan pernah terlihat sama lagi bagi saya, tapi saya telah membuat keputusan yang tepat. Lagi pula, saya telah memberikan semuanya, yang terbaik yang saya punya, walaupun kadang yang terbaik itu mungkin tidak cukup baik,” tulisnya.

Pensiun merupakan keputusan yang berat bagi Lee. Ia didiagnosa mengidap kanker hidung stadium awal di 2018. Ia diberitahu oleh dokter bahwa tubuhnya tidak akan sanggup berlatih bulutangkis secara intensif untuk pertandingan level tinggi. Ia sempat melakukan pengobatan di Taiwan dengan niat kembali ke lapangan untuk bertanding di Olimpiade Tokyo. Namun pada akhirnya ia memilih pensiun karena kesehatannya adalah prioritas utama.

Lee terakhir kali bertanding di Indonesia Open 2018, saat itu ia kalah dua gim dari Kento Momota di babak semifinal. Gelar juara terakhir yang ia dapat yaitu Malaysia Open 2018, turnamen yang hanya berjarak dua minggu sebelum Indonesia Open. Ia mengalahkan Kento Momota di final dengan dua gim langsung di depan publik sendiri. Selama berkarir, Lee telah mengumpulkan 69 gelar juara dan 34 runner up.

Berikut terjemahan lengkap postingan Instagram Lee Chong Wei

Keputusan telah dibuat 10 hari lalu. Bersama DS @norzazakaria , kami bertemu di rumah YB @syedsaddiq dan mereka sepakat menerima permintaan saya untuk gantung raket. Mereka menyimak dengan serius sementara saya harus tetap mengendalikan emosi dalam diri. Itu berat, benar-benar berat. Mereka mengerti, saya bersyukur dengan hal itu. Mereka tidak memaksa saya untuk terus bermain. Saya memang tidak sanggup bermain lagi.

Istri saya membuatkan makanan. Saya dan anak-anak makan sepuasnya. Kami bersenang-senang. Kemudian asisten pribadi saya datang. Ia memberikan saya naskah yang harus diikuti saat konferensi pers. Saya mencoba mengingat. Itu mudah pikir saya. Kingston sampai berkata, “Wah Papa, BM (Bahasa Melayu) dan Bahasa Inggrismu lebih baik dari saya”. Kami tertawa.

Setelah berlama-lama mandi air hangat, saya melihat ke cermin, “Ingin mencoba sekali lagi?” Lalu pandangan saya tertuju ke leher dan tubuh saya. Tubuh saya terlihat sangat lemah dan kurus. Otot-otot saya juga lemah. Bekas luka di leher juga terlihat dalam dan gelap setelah pengobatan.

Membuka lemari, saya mengambil jaket Yonex Malaysia dengan motif belang harimau, yang dipilih sebagai kostum saya untuk menghadiri konferensi pers. Berdiri di samping saya, Mew Choo mengamati, “Apa kamu ingat saat kita mulai bermain secara profesional, seragam yang kita pakai saat itu adalah baju putih dengan logo harimau Proton sebagai motif utamanya? Tidak menyangka 19 tahun kemudian, kamu akan mengakhirinya dengan lambang harimau juga di bajumu”. Ia menatap saya. Saya tidak bisa berkata apa-apa. Ia memeluk saya dan berbisik, “Kamu sudah memberikan semuanya”. Bersama-sama kami menaiki mobil teman untuk berangkat ke Menara KBS. Di dalam mobil, saya diberitahu kalau teman-teman media dunia juga datang meliput. Saya mengeluarkan naskah, berharap untuk mengingat kembali sekali lagi. Tangan saya yang lain? Sedang memegang erat tangan Mew Choo…

Tiba-tiba telpon saya bergetar. Teman-teman setim. Kenalan. Teman dekat. Banyak kabar tersiar. Mereka tahu. Saya menolak semua panggilan mereka, berusaha untuk tetap tenang. Saya membaca pesan-pesan mereka dan mendengar pesan suara mereka. Beberapa menangis. Beberapa menawarkan bantuan. Banyak yang mengucapkan terima kasih dengan foto-foto saya memegang piala dan bendera negara.

Saya bertemu dengan mantan pelatih saya Datuk Misbun, Datuk Seu Bock, Hendrawan di tengah. Mereka menepuk saya. Percakapan berlangsung singkat. Mereka telah lama mengenal saya. Mereka tahu kalau saya berusaha menenangkan emosi dalam diri. Saya tidak ingin menangis di depan publik. Tidak di depan jutaan penonton Malaysia dan penonton internasional.

Saya duduk di samping Datuk Seri Norza dan Yb Sy Saddiq. Saya mulai memberikan pidato. Sangat tidak mengesankan. Menghadapi orang banyak, saya tidak bisa mengingat isi naskah, hanya terucap beberapa poin utama. Tata bahasa kacau. Bahasa juga. Tapi saya rasa tidak apa-apa. Di dalam diri, saya gemetaran, hancur… Kemudian, saya berterima kasih kepada para pelatih dan tim saya. Tiba-tiba, saya teringat kembali bagaimana saya berlatih di Penang pertama kali. Terbayang bagaimana latihan pagi, bercanda bersama teman-teman setim, berjalan di lapangan, teriakan-teriakan ‘Lee Chong Wei’ dari para penggemar, perasaan saat berdiri di podium memandang bendera Malaysia”. Saya tidak tahan. Saya pun menangis.

Sudah setahun. Setahun berlalu setelah saya mengumumkan mengakhiri 25 tahun perjalanan bulutangkis saya. Tak akan pernah terlihat sama lagi bagi saya, tapi saya telah membuat keputusan yang tepat. Lagi pula, saya telah memberikan semuanya, yang terbaik yang saya punya, walaupun kadang yang terbaik itu mungkin tidak cukup baik.